Pages

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Selamat datang di Web BLOG MI Karanggandu, Semoga Bermanfaat untuk Kita Semua. Aamiin.

Visi MI Karanggandu

Terwujudnya Generasi Muslim yang Cerdas, Berakhlakul Karimah, Berprestasi dan Berwawasan Global yang dilandasi nilai-nilai luhur sesuai dengan Ajaran Agama Islam Ahlussunnah wal Jamaah.

Kegiatan Siswa

Dalam Pengembangan.

Mutiara Hikmah

Dalam Pengembangan

Kontak Kami

Jl. Raya Pantai Damas - Karanggandu, Watulimo, Trenggalek 66382 Telp. (0355) 551331.

Belajar dari Kesungguhan Kiai Belajar


Oleh Nadirsyah Hosen

Prof Ahmad Chatib (Allah yarham) pernah bercerita beliau baru saja membeli sebuah buku dalam perjalanan di luar negeri. Kemudian beliau berpapasan di pintu dengan Gus Dur yang segera melihat buku bagus di tangan Prof Ahmad Chatib. Gus Dur bergegas ke dalam toko buku hendak membeli buku yang sama, tapi ternyata itu stok buku terakhir yang ada. Gus Dur kemudian cepat-cepat mengejar Prof Ahmad Chatib dan meminta beliau untuk meminjamkan buku tersebut. 

Prof Ahmad Chatib, yang menceritakan kisah ini di kelas mata kuliah Filsafat Hukum Islam tahun 1994 di IAIN Jakarta, berkata: "Terpaksa saya sodorkan buku itu kepada Gus Dur yang ingin sekali membaca buku tersebut". Selang beberapa lama setiap bertemu di Jakarta, Prof Ahmad Chatib selalu menanyakan nasib bukunya yang dipinjam Gus Dur itu. Akhirnya Gus Dur mengembalikan buku itu. Prof Ahmad Chatib terkejut setelah membukanya, "Wah buku saya sudah penuh dengan catatan Gus Dur di sana-sini". Rupanya begitulah kesungguhan Gus Dur dalam menelaah sebuah kitab: sampai buku pinjaman pun dicoret-coreti.

Kisah kedua yang hendak saya ceritakan ini mengenai Kiai Abbas dari Buntet Pesantren. Saat Abah saya hendak mengaji kepada Kiai Abbas dengan membawa kitab Jam'ul Jawami', Kiai Abbas mengaku belum terlalu menguasai kitab itu, dan meminta Abah saya datang kembali membawa kitab tersebut beberapa hari ke depan. Rupanya Kiai Abbas menyimak dulu isi kitab ushul al-fiqh karya Imam al-Subki tersebut, dan kemudian setelah itu Abah saya dipanggil kembali dan Kiai Abbas dengan lancar mengajarkan isi kitab tersebut.

Dua kisah di atas saya ceritakan untuk menunjukkan kesungguhan para kiai itu menuntut ilmu. Para kiai itu membaca, menyimak dan memberi catatan isi kitab. Mereka menjadi alim bukan terjadi begitu saja. Sengaja diambil kisah dua kiai, yaitu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Kiai Abbas. Kedua tokoh hebat pada masanya masing-masing ini lebih sering dibahas karomah beliau berdua ketimbang dikisahkan kesungguhan beliau berdua belajar menuntut ilmu. 

Kiai Abbas, menurut penuturan Abah saya yang menjadi santri khususnya, sangat menguasai ushul al-fiqh dan ilmu fiqh perbandingan mazhab. Pengakuan Abah: "Kuliah saya di al-Azhar Cairo terasa mudah dengan bekal ilmu yang sudah diajarkan Kiai Abbas". Yang terkenal kemana-mana itu adalah peristiwa heroik 10 November dimana Kiai Abbas merontokkan pesawat sekutu dengan lemparan biji tasbih dan bakiaknya. Tentu saja Abah saya juga menceritakan berbagai karomah gurunya ini, namun setiap saya tanya apa wiridnya, Abah cuma berpesan: "Belajar yang rajin saja Nak, belum waktunya membaca wirid macam-macam, nanti kalau kamu sudah jadi kiai, kamu akan mengerti sendiri hal-hal gaib dan ajaib yang kamu tanyakan itu. Sekarang baca buku lagi!"

Dan kini kalau saya ceritakan kepada para santri bahwa saya meraih dua gelar PhD di dua bidang berbeda, di dua negara berbeda, dan saya selesaikan pada waktu yang bersamaan, spontan yang mereka tanya: "Wiridnya apa sehingga bisa seperti itu?" Jarang yang tertarik bertanya bagaimana kesungguhan saya belajar sehingga bisa menyelesaikan dua program PhD tersebut. Lebih menarik bertanya doa dan wiridnya. Mungkin disangkanya lebih mudah wiridan ketimbang membaca buku.

Pesantren itu sejatinya lembaga pendidikan, bukan semata tempat orang belajar mistik apalagi klenik. Ini yang harus ditegaskan karena banyak kesalahpahaman. Selain kesannya ndeso, pesantren itu dikesankan tempat untuk belajar ilmu gaib. Orang tua menjadi takut mengirim anaknya ke pondok. Pulang dari pondok hobinya nanti menangkap jin. Sementara para santri ada sebagian yang bukannya belajar dengan tekun tapi malah sibuk mau jadi waliyullah dengan berharap mendapat ilmu laduni. Bahwa Gus Dur dan Kiai Abbas memiliki karomah, tentu kita yakini itu. Tetapi karomah itu hanya bonus saja, hasil dari istiqamah para kiai yang luar biasa. Istiqamah menuntut ilmu dengan terus rajin belajar, membaca, berdiskusi, dan menulis --ini yang harus kita warisi dari para masyayikh dan guru-guru kita.

Ceritakanlah kepada khalayak bagaimana Mbah Sahal Mahfud membaca dengan tekun dan karenanya menulis berbagai kitab yang luar biasa. Di ruang tamu beliau berjejer kitab fiqh dari mazhab selain mazhab Syafi'i. Kitab dari mazhab Syafi'i malah ditaruh di bagian belakang. "Kenapa?" tanya Prof Martin van Bruinessen. Jawab Mbah Sahal kalem, "karena kitab dari mazhab Syafi'i sudah saya hafal semua."

Kisahkanlah di medsos bagaimana Kiai Ihsan Jampes mengarang kitab yang kemudian dijadikan rujukan di mancanegara. Atau tolong mintakan kepada KH Ahmad Mustofa Bisri untuk berkenan bercerita proses kreatif beliau sehingga tercipta berbagai tulisan dan barisan puisi yang menyentuh jiwa dan mengundang kita untuk merenunginya. 

Jikalau ini yang kita ceritakan, tidak semata soal karomah para kiai, baru kemudian umat akan memahami bahwa pesantren itu juga gudangnya dunia ilmu pengetahuan. Dan mereka akan lebih apresiatif saat mengetahui bahwa zikir dan pikir telah menjadi satu tarikan nafas keseharian para kiai.


Penulis adalah Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Sumber : NU.OR.ID

Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial


KH Ahmad Mustofa Bisri pernah mempopulerkan istilah saleh ritual dan saleh sosial. Yang pertama merujuk pada ibadah yang dilakukan dalam konteks memenuhi haqqullah dan hablum minallah seperti shalat, puasa, haji dan ritual lainnya. Sementara itu, istilah saleh sosial merujuk pada berbagai macam aktivitas dalam rangka memenuhi haqul adami dan menjaga hablum minan nas. Banyak yang saleh secara ritual, namun tidak saleh secara sosial; begitu pula sebaliknya.

Gus Mus tentu tidak bermaksud membenturkan kedua jenis kesalehan ini, karena sesungguhnya Islam mengajarkan keduanya. Bahkan lebih hebat lagi; dalam ritual sesungguhnya juga ada aspek sosial. Misalnya shalat berjamaah, pembayaran zakat, ataupun ibadah puasa, juga merangkum dimensi ritual dan sosial sekaligus. Jadi, jelas bahwa yang terbaik itu adalah kesalehan total, bukan salah satunya atau malah tidak dua-duanya. Kalau tidak menjalankan keduanya, itu namanya kesalahan, bukan kesalehan. Tapi jangan lupa, orang salah pun masih bisa untuk menjadi orang saleh. Dan orang saleh bukan berarti tidak punya kesalahan.

Pada saat yang sama, kita harus akui seringkali terjadi dilema dalam memilih skala prioritas. Mana yang harus kita utamakan antara ibadah atau amalan sosial. Pernah di Bandara seorang kawan mengalami persoalan dengan tiketnya karena perubahan jadual. Saya membantu prosesnya sehingga harus bolak balik dari satu meja ke meja lainnya. Waktu maghrib hampir habis. Kawan yang ketiga, yang dari tadi diam saja melihat kami kerepotan, kemudian marah-marah karena kami belum menunaikan shalat maghrib. Bahkan ia mengancam, “Saya tidak akan mau terbang kalau saya tidak shalat dulu”. 

Saya tenangkan dia, bahwa sehabis check in nanti kita masih bisa shalat di dekat gate, akan tetapi kalau urusan check in kawan kita ini terhambat maka kita terpaksa meninggalkan dia di negeri asing ini dengan segala kerumitannya. Lagi pula, sebagai musafir kita diberi rukhsah untuk menjamak shalat maghrib dan isya’ nantinya. Kita pun masih bisa shalat di atas pesawat. Kawan tersebut tidak mau terima: baginya urusan dengan Allah lebih utama ketimbang membantu urusan tiket kawan yang lain. Saya harus membantu satu kawan soal tiketnya dan pada saat yang bersamaan saya harus adu dalil dengan kawan yang satu lagi. Tiba-tiba di depan saya dilema antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial menjadi nyata.

Syekh Yusuf al-Qaradhawi mencoba menjelaskan dilema ini dalam bukunya Fiqh al-Awlawiyat. Beliau berpendapat kewajiban yang berkaitan dengan hak orang ramai atau umat harus lebih diutamakan daripada kewajiban yang berkaitan dengan hak individu. Beliau juga menekankan untuk prioritas terhadap amalan yang langgeng (istiqamah) daripada amalan yang banyak tapi terputus-putus. Lebih jauh beliau berpendapat: 

“Fardhu ain yang berkaitan dengan hak Allah semata-mata mungkin dapat diberi toleransi, dan berbeda dengan fardhu ain yang berkaitan dengan hak hamba-hamba-Nya. Ada seorang ulama yang berkata, "Sesungguhnya hak Allah dibangun di atas toleransi sedangkan hak hamba-hamba-Nya dibangun di atas aturan yang sangat ketat." Oleh sebab itu, ibadah haji misalnya, yang hukumnya wajib, dan membayar utang yang hukumnya juga wajib; maka yang harus didahulukan ialah kewajiban membayar utang.” Ini artinya, untuk ulama kita ini, dalam kondisi tertentu kita harus mendahulukan kesalehan sosial daripada kesalehan ritual. 

Kita juga dianjurkan untuk mendahulukan amalan yang mendesak daripada amalan yang lebih longar waktunya. Misalnya, antara menghilangkan najis di masjid yang bisa mengganggu jamaah yang belakangan hadir, dengan melakukan shalat pada awal waktunya. Atau antara menolong orang yang mengalami kecelakaan dengan pergi mengerjakan shalat Jum'at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang yang kecelakaan dengan membawanya ke Rumah Sakit. Sebagai petugas kelurahan, mana yang kita utamakan: shalat di awal waktu atau melayani rakyat yang mengurus KTP terlebih dahulu? 

Atau mana yang harus kita prioritaskan di saat keterbatasan air dalam sebuah perjalanan: menggunakan air untuk memuaskan rasa haus atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya, yaitu tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu atau debu. Begitu juga kewajiban berpuasa masih bisa di-qadha atau dibayar dengan fidyah dalam kondisi secara medis dokter melarang kita untuk berpuasa. “Fatwa” dokter harus kita utamakan dalam situasi ini. Ini artinya shihatul abdan muqaddamun ‘ala shihatil adyan. Sehatnya badan diutamakan daripada sehatnya agama. 

Dalam bahasa Abdul Muthalib, kakek Rasulullah, di depan pasukan Abrahah yang mengambil kambing dan untanya serta hendak menyerang Ka’bah: “Kembalikan ternakku, karena akulah pemiliknya. Sementara soal Ka’bah, Allah pemiliknya dan Dia yang akan menjaganya!” Sepintas terkesan hewan ternak didahulukan daripada menjaga Ka’bah; atau dalam kasus tiket di atas seolah urusan shalat ditunda gara-gara urusan pesawat; atau keterangan medis diutamakan daripada kewajiban berpuasa. Inilah fiqh prioritas!

Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga menganjurkan untuk prioritas pada amalan hati ketimbang amalan fisik. Beliau menulis:

“…Kami sangat heran terhadap konsentrasi yang diberikan oleh sebagian pemeluk agama, khususnya para dai yang menganjurkan amalan dan adab sopan santun yang berkaitan dengan perkara-perkara lahiriah lebih banyak daripada perkara-perkara batiniah; yang memperhatikan bentuk luar lebih banyak daripada intinya; misalnya memendekkan pakaian, memotong kumis dan memanjangkan jenggot, bentuk hijab wanita, hitungan anak tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan atau kaki ketika shalat, dan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan bentuk luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan inti dan ruhnya. Perkara-perkara ini, bagaimanapun, tidak begitu diberi prioritas dalam agama ini.”

Dengan tegas beliau menyatakan:

“Saya sendiri memperhatikan --dengan amat menyayangkan-- bahwa banyak sekali orang-orang yang menekankan kepada bentuk lahiriah ini dan hal-hal yang serupa dengannya --Saya tidak berkata mereka semuanya-- mereka begitu mementingkan hal tersebut dan melupakan hal-hal lain yang jauh lebih penting dan lebih dahsyat pengaruhnya. Seperti berbuat baik kepada kedua orangtua, silaturahim, menyampaikan amanat, memelihara hak orang lain, bekerja yang baik, dan memberikan hak kepada orang yang harus memilikinya, kasih-sayang terhadap makhluk Allah, apalagi terhadap yang lemah, menjauhi hal-hal yang jelas diharamkan, dan lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang beriman di dalam kitab-Nya, di awal surah al-Anfal, awal surah al-Mu'minun, akhir surah al-Furqan, dan lain-lain.”

Kesalehan ritual itu ternyata bertingkat-tingkat. Kesalehan sosial juga berlapis-lapis. Dan kita dianjurkan dapat memilah mana yang kita harus prioritaskan sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita menjalankannya. Wa Allahu a’lam bia-shawab.

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Sumber : NU.OR.ID

Kisah Abu Hurairah Kabur saat Ditemui Rasulullah


Nama Abu Hurairah cukup populer di kalangan umat Islam. Sahabat Rasulullah yang bernama asli Abdurrahman bin Shakhr ini termasuk periwayat hadits terbanyak dibanding sahabat-sahabat lainnya.


Bagaimana bisa Abu Hurairah meriwayatkan demikian banyak hadits sementara ia hanya bersama Rasulullah kurang dari empat tahun? Selain kegigihan belajar yang luar biasa, salah satu rahasiannya adalah kesediaan Abu Hurairah membuntuti Nabi kemana pun beliau pergi.

Namun demikian, meski terkenal sangat dekat dengan Rasulullah, Abu Hurairah pernah justru buru-buru lari menghindar, begitu matanya melihat utusan Allah itu hendak menghampirinya. Kenapa?

Pertanyaan itu pula yang barangkali terbesit di benak Nabi. Tapi akhirnya dalam beberapa saat Abu Hurairah menemui beliau.

“Di mana kau tadi Abu Hurairah?” Tanya Nabi.

“Tadi aku dalam kondisi junub hingga membuatku tak enak duduk-duduk bersamamu,” jawab Abu Hurairah. Rupanya sahabat Nabi yang satu ini buru-buru kabur untuk menunaikan mandi jinabat, menghilangkan hadats besar yang ditanggungnya.

Rasulullah segera membalas, “Subhanallah, sesungguhnya orang mukmin (dalam riwayat lain memakai redaksi ‘muslim’) tidak najis.”

Demikianlah adab Abu Hurairah kepada Rasulullah sebagaimana diceritakan dalam hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim. Sikap Abu Hurairah ini mencerminkan akhlak dan niat penghormatan yang luar biasa. Ia tak hanya ingin tampil bersih tapi juga suci saat di hadapan Nabi. Padahal, kategori suci atau bebas dari hadats adalah hal yang tak tampak secara kasat mata.

Namun ada yang kurang dari niat baik Abu Hurairah ini. Dengan pernyataan “Orang mukmin tidak najis”, Rasulullah secara tersirat mengingatkan Abu Hurairah bahwa mandi jinabat boleh ditunda. Berhadats tidak sama dengan menanggung najis. Dan, tak sepatutnya ia mempersulit diri dengan buru-buru menghindar lalu mandi, apalagi Rasulullah yang hendak menemuinya sudah terlihat di depan mata. Hal ini adalah bagian dari penjelasan etika menghormati tamu. (Mahbib Khoiron).

Sumber : NU.OR.ID

LIRIK LAGU HYMNE DAN MARS MADRASAH


Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Sahabatku yang tercinta, yang mengabdikan dirinya di Madrasah dimanapun berada.
tentunya kita tahu baru - baru ini Kemenag khususnya yang menangani Bidang Madrasah telah meluncurkan Hymne dan Mars Madrasah, bagi sahabat yang belum hafal dan mau menghafalkan, berikut saya coba berbagi Liriknya.
Semoga bermanfaat.

 -------------------------------------------------

HYMNE MADRASAH


Dengan ungkapan syukur pada Mu atas sgala karunia Ya Allah
Kau Embankan amanat pendidikan dalam melanjutkan perjuangan
Dengan ungkapan syukur pada Mu atas sgala karunia Ya Allah
Kau Embankan amanat pendidikan dalam melanjutkan perjuangan

Madrasah Tumpuan harapan umat membentuk jiwa  berakhlaqul karimah
Menjawab arus tantangan jaman menjadi benteng runtuhnya morah

Kau ajarkan arti kehidupan melalui tuntunan keislaman
Dalam bingkai citra pendidikan tuk menggapai cita-cita mulia
tuk menggapai cita-cita mulia


  -------------------------------------------------

MARS MADRASAH

Gema madrasah membahana dipersada bumi nusantara
Pengemban amanat mencerdaskan tunas bangsa santun berwibawa
RA MI MTs MA, bahu membahu turut berjuang
Membangun bangsa bermartabat mulia demi cita-cita

Moto Ikhlas beramal, berkarya nan bermoral ayo-ayo tegakkan
Falsafah pancasila, Bhineka tunggal ika semboyan bangsa Indonesia
Semboyan Bangsa Indonesia
 -------------------------------------------------

Kiai Said Puji Peran Ma’arif Pada Kongres Ke-17 Muslimat NU

Jakarta, Ma’arif-NU Online – Presiden RI Joko Widodo secara resmi membuka Kongres ke-17 Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), dalam pidatonya Jokowi sempat menyinggung kondisi saat ini dengan kelakar, Kamis (24/11) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.
Saat mengawali pidatonya, Jokowi menyinggung dengan mengungkapkan bahwa Jakarta saat ini sejuk dan adem berkat kehadiran ibu-ibu Muslimat.
“Katanya Jakarta sedang panas. Sebetulya tidak, hanya hangat, apalagi ketika ibu-ibu Muslimat ada di Jakarta, tambah adem dan sejuk,” tutur Jokowi di hadapan sekitar 10.000 kader Muslimat NU yang hadir dalam pembukaan Kongres ke-17.
Pada kesempatan itu, Jokowi hadir didampingi oleh Mensesneg Pratikno, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Kesehatan, dan para pimpinan lembaga tinggi negara yang lainnya. Hadir juga dalam pesta demokrasi para perempuan NU ini, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Depok KH Hasyim Muzadi, Hj Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, H. Asad Said Ali, Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid, beserta sejumlah tokoh lain.
Dalam sambutan singkatnya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj yang hadir beserta para pengurus lain dan para pimpinan lembaga dan Banom NU itu, sempat menyapa Ketua LP Ma’arif NU KH.Z. Arifin Junaidi yang tampak hadir di tengah peserta Kongres Muslimat.
Kiai Said mengungkapkan kebanggaannya atas peran Muslimat yang telah mengelola pendidikan anak-anak di lingkungan NU, demikian pula LP Ma’arif NU yang mampu membina lebih dari 13.000 madrasah dan sekolah NU di seluruh Indonesia.
“Saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi bahaya Narkoba yang melanda kalangan anak-anak dan remaja, namun alhamdulillah tidak terjadi di kalangan madrasah Ma’arif,” ujar Ketua Umum PBNU dengan bangga mengungkapkan dihadapan Pressiden dan peserta Kongres Muslimat NU.
Presiden Joko Widodo juga menyinggung persoalan keragaman budaya, etnis, dan bahasa yang dimiliki Indonesia. Dalam catatannya, ada 646 bahasa lokal, dengan 1.128 suku bangsa hidup di Indonesia.
"Banyak sekali. Berbeda kulit, rambut, berbeda mata, beragam sekali bangsa kita ini. Tadi disampaikan oleh KH Said Aqil (Ketum PBNU) yang satu suku saja bisa berkelahi, berperang. Kita ini 1.128, ini yang perlu saya ingatkan, kita jaga," tegas Presiden.
Sebelumnya, Kiai Said Aqil memang menyinggung perang saudara di berbagai negara di kawasan Timur Tengah. Seperti Afghanistan, Irak, Suriah, dan Yaman. Padahal, mereka berasal dari suku yang sama. Kondisi ini kontras dengan Indonesia. Bahkan, kabupaten yang bertetangga bisa memiliki cara berbeda dalam menyampaikan salam.
Jokowi mencontohkan Nias, Karo dengan Toba, yang punya adat dan budaya berbeda. Padahal, mereka masih dalam provinsi yang sama, Sumatera Utara. "Saya setiap datang ke provinsi, pulau kecil kabupaten/kota, betul-betul merasakan sekali berapa kita berbeda-beda, beragam. Satu provinsi saja sudah berbeda-beda," kata Jokowi.
Menurut Jokowi, keberagaman ini selalu diingatkan Ibu Shinta Nuriyah, istri mendiang Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kebetulan, Shinta turut menghadiri pembukaan Kongres Muslimat NU ini.
"Saya sering diingatkan ibu Shinta Wahid, mengenai keberagaman, kemajemukan kita untuk hati-hati. Kalau bertemu beliau, selalu ingatkan saya. Inilah anugerah Allah yang diberikan ke kita," tandas Jokowi.
Usai Pidato berkumandang suara tabuhan rebana yang diiringi lantunan sholawat.ditampilkan Tim Paduan Suara PC Muslimat NU Jombang dan PC Muslimat NU Lamongan menandai dibukaannya perhelatan Kongres secara resmi oleh Presiden Jokowi. wago.

Sumber : Maarif NU

SELAMAT HARI GURU NASIONAL

Selamat Hari Guru Nasional
Selamat HUT PGRI ke-71
Selamat HUT IGI ke-7
25 Nopember 2016
-----------------------
Pagiku Cerahku
Matahari bersinar
kugendong tas merahku
di pundak
Selamat pagi semua
kunantikan dirimu
di depan kelasmu
menantikan kami
Guruku Tersayang
Guru tercinta
Tanpamu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis
Mengerti banyak hal
Guruku terimakasihku
Nyatanya diriku
Kadang buatmu marah
Namun segala ma'af
Kau berikan.